Proses pindah blog..

Mohon maaf atas segala khilaf dan salaf

dalam beberapa hari/minggu ke depan mungkin blog ini akan saya hapus karena mau pindah blog

terima kasih

Potong kuku dan rambut bagi yang ingin berqurban…

Diriwayatkan dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda.
Artinya : Apabila sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun [Hadits Riwayat Muslim]
Hadits di atas tidak hanya diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no 1977), tapi sebagaimana dijelaskan Imam Syaukani, hadits itu juga diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud (hadits no 2791), dan Imam an-Nasa’i (Juz VII/hal. 211). (Imam Syaukani, Nailul Authar, Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 1008). Menurut Imam Suyuthi, hadits semakna juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah (Imam Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/25).
Pendapat para ulama tentang larangan memotong rambut dan kuku adalah sebagai berikut :
Imam Syafi’i : jika memasuki sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah, maka barangsiapa yang bermaksud untuk menyembelih kurban, disunnahkan baginya untuk tidak mencukur rambut dan memotong kukunya hingga dia selesai menyembelih kurban. menurut Imam Syafi’i dan para pengikutnya, hukumnya makruh tanzih, bukan haram.
Imam Abu Hanifah berkata ; hal itu [mencukur rambut dan memotong kuku] adalah mubah, tidak dimakruhkan dan tidak pula disunnahkan.
Pendapat Imam Malik ada tiga riwayat; dalam satu riwayat, hukumnya tidak makruh, dalam riwayat kedua, hukumnya makruh, dan dalam riwayat ketiga, hukumnya haram jika kurbannya kurban sunnah (Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Maa Yajtanibuhu fi Al-‘Asyari Man Araada al-Tadh-hiyyah).
Adapun Imam Ahmad mengharamkan perbuatan tersebut.”
Imam Syaukani juga menjelaskan adanya perbedaan pendapat dalam masalah tersebut dalam kitabnya Nailul Authar. Imam Syaukani meriwayatkan, bahwa menurut Said bin Musayyab, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud, sebagian ulama Hanafiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah, larangan mencukur rambut dan memotong kuku dalam hadits tersebut adalah dalam arti pengharaman (tahrim). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hal. 1008; Abdul Muta’al Al-Jabari, Cara Berkurban).
Imam ash-Shan’ani dalam Subulus Salam mengenai masalah ini berkata,”Telah terdapat qarinah bahwa larangan itu bukanlah pengharaman.” (qad qaamat al-qarinah ‘ala anna an-nahya laysa lit tahrim).
Hadits lain yang menjadi qarinah itu adalah hadits ‘Aisyah RA, bahwa Ziyad bin Abu Sufyan pernah menulis surat kepada ‘Aisyah, bahwa Abdullah Ibnu Abbas berkata,’Barangsiapa membawa hadyu, maka haram atasnya apa-apa yang haram atas orang yang sedang haji, hingga dia menyembelih hadyu-nya.” Maka ‘Aisyah berkata,’Bukan seperti yang diucapkan Ibnu Abbas. Aku pernah menuntun tali-tali hadyu milik Rasulullah SAW dengan tanganku lalu Rasulullah SAW mengalungkan tali-tali itu dengan tangan beliau, kemudian beliau mengirimkan hadyunya bersama ayahku [Abu Bakar], maka Rasulullah tidak mengharamkan atas sesuatu yang dihalalkan oleh Allah bagi beliau hingga beliau mengembelih hadyu-nya.” (HR Bukhari dan Muslim; Imam Syaukani, Nailul Authar, Bab Anna Man Ba’atsa bi-Hadyin Lam Yahrum ‘Alaihi Syaiun Bi-Dzalika, hal. 1004-1005; Imam ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz IV hal. 96)
Wallahu ‘alam
Fatwa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin tentang masalah ini :
Apabila sepuluh hari pertama (Dzulhijjah) telah masuk dan seseorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun [Hadits Riwayat Muslim]

nash ini menegaskan bahwa yang tidak boleh mengambil rambut dan kuku adalah orang yang hendak berkurban, baik kurban itu atas nama dirinya atau untuk kedua orang tuanya atau atas nama dirinya dan kedua orang tuanya. Sebab dialah yang membeli dan membayar harganya. Adapun kedua orang tua, anak-anak dan istrinya, mereka tidak dilarang emotong rambut atau kuku mereka, sekalipun mereka diikutkan dalam kurban itu bersamanya, atau sekalipun ia yang secara sukarela membelikan hewan kurban dari uangnya sendiri untuk mereka. Adapun tentang menyisir rambut, maka perempuan boleh melakukannya sekalipun rambutnya berjatuhan karenanya, demikian pula tidak mengapa kalau laki-laki menyisir rambut atau jenggotnya lalu berjatuhan karenanya.

Barangsiapa yang telah berniat pada pertengahan sepuluh hari pertama untuk berkurban, maka ia tidak boleh mengambil atau memotong rambut dan kukunya pada hari-hari berikutnya, dan tidak dosa apa yang terjadi sebelum berniat.
Demikian pula, ia tidak boleh mengurungkan niatnya berkurban sekalipun ia telah memotong rambut atau kukunya secara sengaja. Dan juga jangan tidak berkurban karena alasan tidak menahan diri untuk tidak memotong rambut atau kuku yang sudah menjadi kebiasaan setiap hari atau setiap minggu atau setiap dua minggu sekali. Namun jika mampu menahan diri untuk tidak memotong rambut atau kuku, maka ia wajib tidak memotongnya dan haram baginya memotongnya, sebab posisi dia pada saat itu mirip dengan orang yang menggiring hewan kurban (ke Mekkah di dalam beribadah haji). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

Artinya : Janganlah kamu mencukur (rambut) kepalamu sebelum hewan kurban
sampau pada tempat penyembelihannya [Al-Baqarah : 196]

Wallahu a’lam
[Fatawa Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin, tanggal 8/12/1421H, dan beliau tanda tangani]

Lalu bagaimanakah hukum bagi orang yang berkurban tapi pada 10 hari dzulhijjah memotong kuku maupun rambut ataupun janggutnya?
Tentang masalah ini terdapat fatwa lajnah da’imah lil buhut al ilmiah wal ifta
Bahwa qurbannya sah, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk kedua orang tuanya. Qurbannya tidak batal karena ia mencukur jenggot atau memotong kuku selama 10 hari pertama Dzul Hijjah. Namun, ia telah melakukan perbuatan yang jelek karena telah memotong kuku pada hari-hari tersebut. Ia terjerumus ke dalam perkara munkar karena suka mencukur jenggot dan lebih besar kemungkarannya jika itu dilakukan pada 10 hari pertama Dzul Hijjah.

Lajnah Da’imah lil Buhuts Al-Ilmiah wal Ifta’
Ketua:
Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Baaz

Wakil Ketua:
Abdurrazzaq Afifi

Anggota:
Abdullah ibn Quud
Abdullah ibn Ghudayyan
Wallahu A’lam.

—–
Semoga bermanfa’at bagi kawan-kawan yang belum tahu,
bagi yang pernah tahu, semoga bisa mengingatkan,
bagi yang udah tahu jangan bosan ya…

Nasehat Taqwa kepada Alloh

Ya bunayya inna robbaka ya’lamu ma tukinnuhu fii sodrika wama tu’linuhu bilisanika wamutholli’un ala jami’i a’malika fattaqillaha ya bunayya…….

Ya bunayya… (Wahai anakku…) Sesungguhnya Rabmu mengetahui apa yang kamu betikkan dalam hatimu, dan Dia mengetahui apa yang engkau ucapkan dengan lisanmu, dan Dia melihat terhadap segala amalanmu, maka bertakwalah kamu kepada Allah wahai anakku, dan berhati-hatilah kamu terhadap pengawasan-Nya pada saat kamu dalam keadaan yang tidak diridhai oleh-Nya.

Hati-hatilah kamu dari kemurkaan Rabbmu, yang mana Dialah yang telah menciptakanmu dan memberikan rizki kepadamu serta yang telah mengaruniai kamu akal yang dapat kamu gunakan di dalam kehidupanmu. Bagaimana perasaanmu ketika bapakmu melihat dirimu dalam keadaan melanggar perintahnya? Apakah kamu tidak khawatir nantinya bapakmu akan menghukummu? Maka jadikanlah perasaanmu sama seperti itu [bahkan lebih] kepada Allah, karena Dia dapat melihat dirimu disetiap kesempatan yang kamu tidak dapat melihat Dia! Maka janganlah kamu anggap enteng pada perkara apapun juga yang kamu telah dilarang darinya!

Wahai anakku.. Sesungguhnya Rabmu sangat dahsyat murka-Nya, siksa-Nya teramat pedih, maka hati-hatilah kamu wahai anakku, dan takutlah kamu terhadap kemurkaan-Nya, dan janganlah kamu terlena oleh kasih sayang Rabbmu dan sesungguhnya Allah menangguhkan (siksa-Nya) bagi orang yang berbuat dzalim, sampai-sampai jika Dia menyiksa orang tersebut, niscaya Dia tidak akan melepaskannya. Wahai anakku… Sesunguhnya di dalam ketaatan kepada Allah ada kelezatan dan kebahagiaan yang tidak akan dapat dirasakan kecuali dengan mencobanya. Maka, wahai anakku… Pergunakanlah ketaatan kepada Allah sebagai bahan ujian pada setiap harinya supaya engkau dapat merasakan kelezatan, dan supaya engkau dapat merasakan kebahagiaan ini, niscaya kamu dapat mengetahui keikhlasan dirku di dalam menasehatimu. Wahai anakku.. Sesungguhnya engkau akan mendapati rasa berat hati di dalam ketaatan kepada Allah pada pertama kalinya, maka pikullah beban berat ini, dan bersabarlah padanya, sampai ketaatan tersebut engkau rasakan menjadi rutinitas yang dapat dijinakkan.

Wahai anakku… Lihatlah kepada dirimu ketika dulu kamu berada di bangku (sekolah); kamu belajar membaca dan menulis, dan kamu diperintahkan supaya menghafal Al-Qur’anul Karim dengan mendiktekannya, bukankah kamu dulu di sana benci terhadap bangku (sekolah) serta gurunya, dan kamu berangan-angan supaya cepat berakhir? Nah, pada hari ini kamu telah mencapai kedudukan yang mana kamu dapat mengetahui faedah kesabaran dalam belajar di bangku (sekolah), dan engkau telah tahu bahwa pengajarmu dulu berusaha untuk kebaikan dirimu..

Maka, wahai anakku… Dengarkanlah nasehatku, dan bersabarlah di atas ketaatan kepada Allah sebagaimana engkau sabar dalam belajar di bangku (sekolah), niscaya nanti engkau akan mengetahui faedah dari nasehat ini, serta akan tampak jelas bagimu apabila hidayah telah membantu untuk beramal dengan nasehat ustadzmu.

Wahai anakku… Janganlah kamu sekali-kali beranggapan bahwa bertakwa kepada Allah adalah shalat, puasa, dan semisalnya dari berbagai ibadah (yang dhahir) saja. Bahwa sesungguhnya bertakwa kepada Allah mencakup segala sesuatu, maka bertakwalah kamu kepada Allah pada (hak-hak) saudara-saudaramu, janganlah kamu sakiti salah seorang dari mereka, dan bertakwalah kamu kepada Allah pada (hak-hak) negerimu: Janganlah kamu khianati dia dan jangan kamu biarkan musuh menguasainya, serta bertakwalah kamu pada (hak-hak) dirimu, janganlah kamu sia-siakan waktu sehatmu dan janganlah kamu berperilaku kecuali perilaku yang mulia. Wahai anakku.. Rasulullah saw telah bersabda: Bertakwalah kamu dimanapun kamu berada, dan iringilah kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya (kebaikan tersebut) akan menghapusnya, dan pergaulilah orang-orang dengan akhlak yang baik [1]

(Diambil dari Washaya al-Aba’ Lil Abna)

Do’a Bulan Rajab, Sya’ban dan Romadhon ?

Saat ini kita memasuki bulan rajab, dan sebagaimana kita ketahui ada sebuah do’a yang masyhur dikalangan masyarakat kita, “

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر .

Menceritakan kepada kami Abdullah, Ubaidullah bin Umar, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod, dari Ziyad an-Numairi, dari Anas bin Malik berkata ia, Adalah Nabi shallallohhu ‘alaihi wasallam apabila masuk bulan Rajab, beliau berdo’a ; “Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ahmad 1/259, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 4/no. 3939 dan dalam Ad-Du’âno. 911, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/375 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/269 dari jalan Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd dari Ziyâd An-Numairy dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd menurut Imam Al-Bukhâry munkarul hadits, dan Ziyâd An-Numairy juga lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizânul I’tidâl.

Hadist ini mempunyai dua cacat

  1. Zaidah bin Abi Ar-Raaqod
  2. Zyad bin Abdullah an numairy

Al-Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) berkata, telah menyendiri Ziyad An-Numairi dari jalur Zaidah bin Abi ar-Raqad, Al-Bukhary berkata, Hadits dari keduanya adalah mungkar.
An-Nawawy dalam Al-Adzkar (274) berkata, kami telah meriwayatkannya dan terdapat kedhaifan dalam sanadnya.

bolehkah kita menggunakan atau memakai do’a atau gubahan do’a diatas?

Pada dasarnya kita boleh berdo’a apa saja kepada Alloh SWT.  Kita boleh meminta sesuatu kebutuhan kita di dunia dan di akhirat selama itu adalah kebaikan,

Dalam sebuah hadist diriwayatkan :

Di masa Rasul, ada seorang shahabat yang diriwayatkan berdoa dengan lafadz yang beliau SAW belum pernah dengar. Sampai beliau SAW minta shahabat tadi mengulanginya. Bunyinya:
الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مبارَكًا فيه كما يحبُّ ربُّنا أن يُحمَدَ ويَنبغي له
Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak dan baik serta diberkati di dalamya, dengan pujian yang Tuhan kami menyukai untuk dipuji dengannya dan pantas pujian itu untuk-Nya.

Setelah mendengar sekali lagi lafadz doa gubahan shahabatnya itu, beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh 10 malaikat berebutan untuk menuliskannya. Namun mereka tidak tahu cara menuliskannya hingga mereka bawa kepada rabbul ‘izzah Allah SWT, maka Allah SWT perintahkan, “Tulislah sebagai hamba-Ku mengucapkannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dengan para perawi yang tsiqah

Hadits di atas membuktikan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang shahabatnya berdoa dengan lafadz yang dikarangnya dan menjadi isyarat kepada kita bahwa berdoa dengan redaksi sendiri bukanlah suatu yang terlarang, tidak dari sisi lafadz maupun waktu.

Ada juga do’a untuk seseorang yang telah di karunia anak

بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرُزِقْتَ بِرُّهُ .
Barokallaahu laka fil mauhibi, wasyakarta wahiba wabalagha asyuddahu waruziqta birrohu

Ini bukan hadits Nabi, melainkan atsar dari Hasan Al-Bashri, seorang tokoh tabi’in. Itu pun sanadnya lemah. Ada juga yang mengatakan ini sebagai atsar dari Husain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma. Kita boleh mengamalkan atsar ini namun bukan dengan keyakinan bahwa ini adalah sunnah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan sekadar sebagai do’a atau ucapan selamat bagi saudara kita yang baru saja dikaruniai anak.  Imam An-Nawawi menyebutkan do’a ini dalam Al-Adzkaar/Bab Istihbab At-Tahni`ah wa Jawab Al-Muhanna`/tanpa nomor hadits (hadits sebelumnya bernomor 741 dan hadits sesudahnya bernomor 742, karena memang Imam An-Nawawi tidak menganggap do’a ini berasal dari Nabi, melainkan dari Husain bin Ali). Syaikh DR. Sa’id bin Ali Al-Qahthani menyebutkan do’a ini dalam Hishnul Muslim pada hadits nomor 145, seraya mengisyaratkan pentash-hihan hadits ini oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Shahih Al-Adzkar (2/713).(kumpulan do’a sehari-hari, Abduh ZA)
lafazd do’a ini juga terdapat dalam tuhfatul maudud fi ahkamil maulud karya ibnul qoyyim

Jadi berdasarkan hadist dan atsar tersebut pada dasarnya boleh berdo’a dengan redaksi sendiri ataupun redaksi para salafus sholeh atau ulama selama hal tersebut tidak diklaim bahwa lafadz tersebut adalah ajaran rosulullaah SAW, karena bisa jadi seseorang mempunyai permintaan yang lebih spesifik. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali beliau mengatakan “yang penting janganlah sampai mengesampingkan do’a-do’a yang berasal dari Alqur’an dan Sunnah. Jadi berdasarkan keterangan diatas kita boleh menggunakan lafazd do’a  atau gubahan lafazd tersebut selama kita tidak mengklaim dan menyakini bahwa do’a tersebut berasal dari hadist (shohih) Rosulullaah SAW juga tidak berniat untuk mengamalkan atau melandaskan hadist (dhoif) tersebut melainkan hanya menggunakan lafazd karena bisa jadi kita tidak pandai menyusun do’a atau alasan lainnya yang bisa dibenarkan.

Selain do’a diatas yang sering kita dengar juga adalah do’a hendak makan juga do’a hendak berbuka puasa, namun demikian sekiranya disana terdapat contoh-contoh yang berasal dari alqur’an dan sunnah (yang shohih) yang mencakup permintaan kita atau keadaan tertentu tentu lebih baik menggunakannya, karena hal itu lebih selamat dan lebih baik.   Wallaahu A’lam Bishowab

Saat ini kita telah memasuki bulan rajab, dan sebagaimana kita ketahui ada sebuah do’a yang masyhur dikalangan masyarakat kita, “

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ رَجَبَ قَالَ اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيْ رَجَبَ وَشَعْبَانَ وَبَلِّغْنَا حدثنا عبد الله ، حدثنا عبيد الله بن عمر ، عن زائدة بن أبي الرقاد ، عن زياد النميري ، عن أنس بن مالك قال : كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا دخل رجب قال : اللهم بارك لنا في رجب وشعبان وبارك لنا في رمضان وكان يقول : ليلة الجمعة غراء ويومها أزهر .

Menceritakan kepada kami Abdullah, Ubaidullah bin Umar, dari Zaidah bin Abi ar-Raaqod, dari Ziyad an-Numairi, dari Anas bin Malik berkata ia, Adalah Nabi shallallohhu ‘alaihi wasallam apabila masuk bulan Rajab, beliau berdo’a ; “Ya Alloh berkahilah kami dibulan Rajab dan Sya’ban dan sampaikanlah kami kepada Bulan Ramadhan. Kemudian beliau berkata, “Pada malam jumatnya ada kemuliaan, dan siangnya ada keagungan.

Hadits di atas dikeluarkan oleh Ahmad 1/259, Ath-Thabarâny dalam Al-Ausath 4/no. 3939 dan dalam Ad-Du’â’ no. 911, Al-Baihaqy dalam Syu’abul Imân 3/375 dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 6/269 dari jalan Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd dari Ziyâd An-Numairy dari Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhu. Zâ’idah bin Abi Ar-Ruqâd menurut Imam Al-Bukhâry munkarul hadits, dan Ziyâd An-Numairy juga lemah sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Adz-Dzahaby dalam Mizânul I’tidâl. Dan hadits di atas dilemahkan pula oleh Syaikh Al-Albâny dalam Dho’îful Jami’.

Hadist ini mempunyai dua cacat

1. Zaidah bin Abi Ar-Raaqod

2. Zyad bin Abdullah an numairy

Berkata ahlul ilmi =

Al-Baihaqiy dalam Su’abul Iman (3/375) berkata, telah menyendiri Ziyad An-Numairi dari jalur Zaidah bin Abi ar-Raqad, Al-Bukhary berkata, Hadits dari keduanya adalah mungkar.
An-Nawawy dalam Al-Adzkar (274) berkata, kami telah meriwayatkannya dan terdapat kedhaifan dalam sanadnya.

Andaikan kita ingin berdo’a di bulan rajab ini, bolehkah kita menggunakan atau meniru do’a diatas?

Pada dasarnya kita boleh berdo’a apa saja kepada Alloh SWT. Kita boleh meminta sesuatu kebutuhan kita di dunia dan di akhirat selam itu adalah kebaikan,

Dalam sebuah hadist diriwayatkan :

Di masa Rasul, ada seorang shahabat yang diriwayatkan berdoa dengan lafadz yang beliau SAW belum pernah dengar. Sampai beliau SAW minta shahabat tadi mengulanginya. Bunyinya:
الحمد لله حمدًا كثيرًا طيبًا مبارَكًا فيه كما يحبُّ ربُّنا أن يُحمَدَ ويَنبغي له
Segala puji bagi Allah, dengan pujian yang banyak dan baik serta diberkati di dalamya, dengan pujian yang Tuhan kami menyukai untuk dipuji dengannya dan pantas pujian itu untuk-Nya.

Setelah mendengar sekali lagi lafadz doa gubahan shahabatnya itu, beliau bersabda, “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh 10 malaikat berebutan untuk menuliskannya. Namun mereka tidak tahu cara menuliskannya hingga mereka bawa kepada rabbul ‘izzah Allah SWT, maka Allah SWT perintahkan, “Tulislah sebagai hamba-Ku mengucapkannya.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad dengan para perawi yang tsiqah

Hadits di atas membuktikan bahwa Rasulullah SAW tidak melarang shahabatnya berdoa dengan lafadz yang dikarangnya dan menjadi isyarat kepada kita bahwa berdoa dengan redaksi sendiri bukanlah suatu yang terlarang, tidak dari sisi lafadz maupun waktu.

Ada juga do’a untuk seseorang yang telah di karunia anak


بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ وَرُزِقْتَ بِرُّهُ .
Barokallaahu laka fil mauhibi, wasyakarta wahiba wabalagha asyuddahu waruziqta birrohu

Ini bukan hadits Nabi, melainkan atsar dari Hasan Al-Bashri, seorang tokoh tabi’in. Itu pun sanadnya lemah. Ada juga yang mengatakan ini sebagai atsar dari Husain bin Ali Radhiyallahu ‘Anhuma. Kita boleh mengamalkan atsar ini namun bukan dengan keyakinan bahwa ini adalah sunnah dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan sekadar sebagai do’a atau ucapan selamat bagi saudara kita yang baru saja dikaruniai anak.  Imam An-Nawawi menyebutkan do’a ini dalam Al-Adzkaar/Bab Istihbab At-Tahni`ah wa Jawab Al-Muhanna`/tanpa nomor hadits (hadits sebelumnya bernomor 741 dan hadits sesudahnya bernomor 742, karena memang Imam An-Nawawi tidak menganggap do’a ini berasal dari Nabi, melainkan dari Husain bin Ali). Syaikh DR. Sa’id bin Ali Al-Qahthani menyebutkan do’a ini dalam Hishnul Muslim pada hadits nomor 145, seraya mengisyaratkan pentash-hihan hadits ini oleh Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali dalam Shahih Al-Adzkar (2/713).
lafazd do’a ini juga terdapat dalam tuhfatul maudud fi ahkamil maulud karya ibnul qoyyim

Jadi berdasarkan hadist dan atsar tersebut pada dasarnya boleh berdo’a dengan redaksi sendiri ataupun redaksi para salafus sholeh atau ulama selama hal tersebut tidak diklaim bahwa lafadz tersebut adalah ajaran rosulullaah SAW, karena bisa jadi seseorang mempunyai permintaan yang lebih spesifik.

Namun demikian sekiranya disana terdapat contoh-contoh yang berasal dari alqur’an dan sunnah (yang shohih) yang mencakup permintaan kita tentu lebih baik menggunakannya, karena hal itu lebih selamat dan lebih baik. Syaikh Abu Hamid Al Ghazali beliau mengatakan “yang penting janganlah sampai mengesampingkan do’a-do’a yang berasal dari Alqur’an dan sunnah.

Wallahu A’lam Bishowab



Allohummanshur ikhwanal muslimiina fii filistiin wa fii kulli makan,..

Ya Alloh ampunilah dosa kaum muslimin dan muslimat, mukminin dan mukminat,
Ya Alloh jinakkan, satu padukan hati orang-orang muslimin,dan damaikanlah mereka, perbaikilah keadaan mereka,
Ya Alloh, persatukanlah kalimat umat Islam pada petunjuk-Mu, hati kami pada ketakwaan, niatnya pada jihad di jalan-Mu.
Ya Alloh, lepaskan belenggu mereka dengan kekuatan-Mu, persatukan keterpecah-belahan mereka dengan rahmat-Mu. Dan, ambil alih
urusan mereka dengan perhatian-Mu. Tolonglah kaum muslimin untuk melawan musuh-musuh- Mu.

Ya Alloh hindarkan kami dari bencana, wabah, kekejian, kemungkaran, segala cobaan dan fitnah, yang tampak maupun tidak
tampak, di negara kami dan negara kaum muslimin lainnya.

Ya Alloh janganlah Engkau kuasakan musuh-musuh diatas kami dan jadikanlah pembalasan kami atas siapa saja yang menganiaya
kami, dan menangkanlah kami atas siapa saja yang memusuhi kami

Ya Alloh, laknatlah orang-orang kafir yang mendustakan para RasulMu dan membunuh para kekasih-Mu,
Ya Alloh hancurkanlah orang-orang kafir, orang-orang musyrik, musuh-musuhMu dan musuh musuh agamaMu
Ya Alloh, kami serahkan kepada-Mu urusan zionis yahudi yang kejam. kami serahkan kepada-Mu pesoalan orang-orang musyrik yang
fanatik. Ya Alloh, kami serahkan kepada-Mu semua musuh-musuh- Mu.

Ya Alloh, pisahkan persatuan mereka, cerai-beraikan kesatuan mereka,hancur leburkan kekuatan mereka, balik bendera mereka,
goncang kaki mereka, letakkanlah di hati mereka rasa ketakutan, jauhkan kekuasaan mereka dari bumi-Mu, jangan Engkau berikan
jalan bagi mereka untuk menguasai salah seorang hamba-Mu yang beriman, dan turunkan adzabMu yang tidak bisa ditolak oleh para
pendosa.

Ya Alloh, janganlah Engkau palingkan diri-Mu dari kami meskipun sekejap atau lebih sedikit lagi.
Ya Alloh, bantulah saudara-saudara kami yang berjihad di jalanMu di Palestina, di Iraq, di Afganistan dan dimanapun dia
berada. Teguhkanlah hati saudara-saudara kami yang tertindas, di palestina, di iraq, di afganistan dan seluruh penjuru dunia.

Ya Alloh, janganlah Engkau binasakan kami karena perbuatan orang orang yang tidak berpegetahuan di antara kami. Dan, jangan
karena dosa dosa kami lantas Engkau biarkan orang-orang yang tidak takut kepada- MU, menguasai kami.

Ya Alloh, jadikanlah negeri ini aman, tentram, dan sejahtera. Juga negeri kaum muslimin lainnya.

Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan berkah-Mu pada hamba dan rasul-Mu, Muhammad, juga pada keluarga, sahabat, dan
orang-orang yang mengikutinya sampai hari kemudian.

Dengan menyebut nama-Mu ya Allah yang Maha Pengasih Maha Penyayang,
Ya Alloh, sesungguhnya kami memohon perlindungan kepadaMu”

Natal, Perayaan dan Mengucapkan selamat, Bagaimana sikap kita seharusnya…?

Berhubung ntar lagi tanggal 25 desember, maka bagaimanakah sikap kita sebagai seorang mukmin dalam menyikapi hal ini :

Tentang hal ini saya mencoba memetakan,

1. Merayakan Natal Bersama

Ulama sepakat bahwa ikut merayakan natal bersama adalah haram bahkan MUI sendiri pernah mengeluarkan fatwa terkait dengan hal ini (akan saya sampaikan dibawah)

2. Mengucapkan selamat natal kepada umat kristiani, ulama ada yang berbeda pendapat, sebagian besar tidak membolehkan, meskipun ada pendapat yang memperbolehkan.

Pendapat Yang Mengaharamkan Atau Tidak Memperbolehkan


Baca entri selengkapnya »

warnaislam.com — Dua profesor bidang sejarah memuja dan memuji buku karangan seorang murtad

Dua profesor bidang sejarah memuja dan memuji buku karangan seorang murtad asal Mesir, Farag Fouda. Dua Guru Besar itu adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah dan Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan Prof. Dr. Syafi`i Maarif, yang juga Guru Besar Filsafat Sejarah, Universitas Nasional Yogyakarta (UNY).

Keduanya memuji atas buku karya Fouda yang berjudul al-Haqiqah al-Ghaybah. Belum lama ini, Yayasan Wakaf Paramadina bekerjasama dengan penerbit Dian Rakyat menerbitkan edisi Indonesia sebuah buku berjudul “Kebenaran yang Hilang: Sisi Kelam Praktik Politik dan Kekuasaan dalam Sejarah Kaum Muslimin”.

Selanjutnya judul buku ini disingkat KYH. Dari judulnya, bisa ditebak, buku ini mengangkat apa yang oleh penulisnya disebut sebagai sisi kelam dari sejarah Islam. Jika kaum Muslim menyebut zaman Khulafaurrasyidin sebagai masa yang ideal, maka Fouda meggambarkan sebaliknya. Menurut Fouda, zaman itu bukanlah masa ideal, tapi “zaman biasa”. “Tidak banyak yang gemilang dari masa itu. Malah, ada banyak jejak memalukan.” (hal.xv).

Mungkin karena itulah, kaum liberal di Indonesia sangat bergairah dengan terbitnya buku tersebut. Pada sampul depan, Prof. Azra berkomentar: “Karya Farag Fouda ini secara kritis dan berani mengungkapkan realitas sejarah pahit pada masa Islam klasik. Sejarah pahit itu bukan hanya sering tak terkatakan di kalangan kaum Muslim, tapi bahkan dipersepsikan secara sangat idealistik dan romantik. Karya ini dapat menggugah umat Islam untuk melihat sejarah lebih objektif, guna mengambil pelajaran bagi hari ini dan masa depan”.

Sementara pada sampul belakang, dimuat komentar Prof. Dr. Syafi`i Maarif. Profesor Syafi’i Maarif terkesan begitu terpesona oleh karya Faouda ini, sehingga dia berkomentar: ”Terlalu banyak alasan mengapa saya menganjurkan Anda membaca buku ini. Satu hal yang pasti: Fouda menawarkan ”kacamata” lain untuk melihat sejarah Islam. Mungkin Fouda akan mengguncang keyakinan Anda tentang sejarah Islam yang lazim dipahami. Namun kita tidak punya pilihan lain kecuali meminjam ”kacamata” Fouda untuk memahami sejarah Islam secara lebih autentik, obyektif dan komprehensif.

Benarkah buku Fouda ini memang obyektif dan komprehensif, sebagaimana pujian para profesor sejarah di Indonesia itu? Untuk membuktikannya, berikut kesalahan fatal metodologi Fouda. Menurut peneliti bidang sejarah di Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS) Asep Sobari, Baca entri selengkapnya »

Ribuan Ulama Pakistan Dukung Kritik Al-Qardhawi atas Syiah

Selasa, 14 Oktober 2008 15:43

warnaislam.com — Lebih dari 5.000 ulama Pakistan menyatakan dukungan atas Dr Yusuf Al-Qardhawi yang akhir-akhir ini dikritik keras oleh Syiah Iran. Para ulama juga menuduh Iran terlibat dalam menyokong pihak penjajah yang menyebabkan hancurnya Irak dan Afghanistan.

Lebih lanjut para ulama itu menuduh Iran telah memanfaatkan minoritas Syiah di negara-negara Sunni dengan kedok rekonsiliasi kebangsaan. Iran juga dituduh memprovokasi minoritas Syiah sehingga meletus kekisruhan sektarian di negara terkait, yang kesemuanya itu mengancam persatuan umat dan semangat perjuangan.

Hal lainnya lagi yang dituduhkan para ulama adalah keterlibatan Iran dan petinggi-petingginya dalam menyokong kelompok-kelompok teroris yang kerap menumpahkan darah umat Islam di Irak, Afghanistan dan Pakistan.

Dijelaskan juga saat ini Iran tengah memfungsikan kekuatan finansial dan dai-dainya untuk menebarkan pemikiran Syiah di wilayah-wilayah Sunni yang miskin dan terbelakang. Demikian juga Iran masih terus melakukan tekanan-tekanan dan pemusnahan identitas Sunni di Iran dengan cara membunuh para ulama Sunni, membumihanguskan masjid-masjid dan sekolah-sekolahnya serta menafikan kebebasan beragama.

Fakta lain yang diungkapkan para ulama Pakistan adalah peran Iran dalam mendanai televisi-televisi satelit yang isinya mencacai para Sahabat Rasulullah dan menebar fitnah serta agitasi.

Disebutkan bahwa pernyataan lebih dari 5.000 tanda tangan ulama Pakistan itu akan terus berlangsung sampai akhir Oktober.

http://warnaislam.com/berita/dunia/2008/10/14/56601/Ribuan_Ulama_Pakistan_Dukung_Kritik_Al-Qardhawi_atas_Syiah.htm

Tulisan ini juga sebagai tambahan atas postingan sebelumnya tentang “Jawaban atas tuduhan yang dilontarkan kepada Syaikh DR. Yusuf Al Qhorodhowy

Imam Masjidil Haram Syaikh Su’ud Asy-Syuraim “Pilihlah Pemimpin yang Amanah”

Berikut ini ana tuliskan nasehat dari seorang Ulama yang mungkin lantunan Tilawahnya sering kita dengarkan, Beliau adalah Syaikh Su’ud Asy-Syuraim Imam Masjidil Haram, yang ana ambil dari majalah Al-Mujtama’ edisi 5 Th. I/ 12 Sya’ban 1429 H/ 14 Agustus 2008.

Dunia Islam sedang dirundung masalah yang sulit dan berat, khususnya di Palestina dan dunia Islam secara umum. Tak terkecuali Indonesia yang hingga kini belum keluar dari berbagai krisis multidimensial, termasuk krisis kepemimpinan. Umat Islam saat ini lebih membutuhkan pencerahan dan nasehat dari para Ulama.

Kita memerlukan nasehat seorang ulama kharismatik yang bisa menuntun umat kepada kesadaran untuk menunaikan amanah hidup. Ummat Islam tentu tak asing lagi dengan Syaikh Su’ud Syuraim, Imam Masjidil Haram, Lantunan tilawah dan do’a-do’anya selalu menitikkan air mata. Kepada wartawan al mujtama’, Ahmad Tarmidzi dan Agus Syahadat yang menemuinya di kediaman Dubes Arab Saudi, Ulama Besar ini menyampaikan nasehatnya. Berikut petikannya.

Apa Tujuan Utama kunjungan Syaikh ke Indonesia?

Saya mengunjungi saudara-saudara Muslimin di Indonesia, negeri kandung kami dalam rangka kerjasama bidang dakwah. Hal ini terwujud dalam dua hal. Pertama, keterlibatan dalam hal musabaqoh (kompetisi) menghapal Al qur’an dan Hadist tingkat Internasional di level Asia Tenggara dengan hadiah dari Pangeran Kerajaan Arab Saudi, Sultan Bin Abdul Aziz. Perlombaan ini sangat penting karena materi yang diperlombakan adalah Kitabullah Al qur’an, sumber ilmu yang paling mulia, agung dan sempurna. Kedua safari dakwah dan pantauan ke sejumlah daerah di Indonesia terkait dengan perkembangan Islam.

Berapa kali Syaikh mengunjungi Indonesia dan apa pendapat Syaikh tentang negeri ini?

Baca entri selengkapnya »

Bagaimana Jika Maslahat dan Mafsadat Bertemu

Pertimbangan antara Maslahat(Kebaikan) dan Mafsadat (Kerusakan) apabila kedua hal yang bertentangan ini bertemu

Apabila dalam suatu perkara terdapat maslahat dan kerusakananya, ada bahaya dan ada manfaatnya, maka keduanya harus dipertimbangkan dengan betul. Kita harus mengambil keputusan terhadap pertimbangan yang lebih berat dan lebih banyak, karena sesungguhnya yang lebih banyak itu mengandung hukum yang menyeluruh.
Kalau Baca entri selengkapnya »

« Older entries