Jawaban atas tuduhan kepada Syaikh Dr. Yusuf Al Qaradhawy (bag-1)

Al Inhirafat Al Fikriyah wadh dhalalat al Jaliyah min Abdirrahman bin Sarijan

Oleh: Akhuna Wisdom

Kutip dari Abdurrahman bin Sarijan:
Lembaran-lembaran kertas yang ada di hadapan pembaca ini memuat ringkasan dari beberapa ide pemikiran tokoh ini (Qardlowi) yang dengan berbagai cara berusaha melariskan ide-ide pemikiran tersebut. Sengaja penulis tampilkan gagasan-gagasan Qardhawi ini sebagai upaya memberi nasehat kepada umat Islam, dan sebagai pernyataan berlepas diri, serta memberi peringatan kepada umat Islam agar selalu waspada terhadap tokoh ini (Qordlowi) dan tokoh-tokoh lain yang seide dengannya.

Tulisan saya pun juga akan meringkas kecerobohan laki-laki ini (Abdurrahman bin Sarijan) sebagai upaya nasihat kepada Umat Islam, dan sebagai pernyataan berlepas diri, serta memberi peringatakn kepada umat Islam agar selalu waspada terhadap laki-laki ini dan yang semisalnya.

Kutip dari Abdurrahman bi Sarijan:
Bagi orang yang ingin mengetahui secara rinci uraian tentang gagasan-gagasan pemikiran Qardhawi berikut sanggahan-sanggahannya, semuanya telah tercantum di dalam kitab “Al-I’laam binaqdi Al-Kitab Al-Halal wa Al-Haram” (“Kritik terhadap kitab ‘Halal dan Haram’ “Qardlowi) karya Syaikh Doktor Shalih bin Fauzan Al-Fauzan1), juga “Ar-Raddu ‘Ala Al-Qardhawi” karya Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’iy rahimahullah2) serta kitab-kitab lainnya
.

Bagi orang yang ingin mengetahui secara rinci kecerobohan orang ini sebaiknya langsung membeli kitab Al halal wal haram dan kritikannya –Alhamdulillah saya memilikinya. Anda akan lihat bahwa kritikan tersebut hanyalah khilafiyah fiqih belaka, yang tidak sepantasnya menodai orang lain yang berbeda pemahaman fiqihnya. Oleh Karena itu Syaikh Bin Baz memberikan izin atas terbit dan beredarnya kitab Al Halal wal haram-nya Syaikh Al Qaradhawy di Saudi Arabia, dan Syaikh bin Baz –walau dia berbeda pendapat dengan Syaikh Al Qaradhawy dalam beberapa masalah pada kitab Al halal wal haram- dia pun menasehati manusia agar menganggapnya itu sebagai perbedaan fiqih antara para ulama!
Sangat berbeda anatara Abdurrahman bin Sarijan ini dengan Syaikh bin Baz, benarlah … bahwa hanya orang besar yang mampu menghargai orang besar ..
Lagi pula … siapa yang menjadikan standar bahwa yang mengkritik pasti benar, sementara yang dikritik pasti salah? Kita lihat satu pembahasan, masalah wajah wanita, aurat atau bukan? Syaikh Al Qaradhawy menyatakan itu bukan aurat, sebagaimana Syaikh Al Albany juga berpendapat demikian, bahkan itulah pendapat jumhur ulama. Itulah yang dikrtik Syaikh Shalih Fauzan …, artinya yang satu adalah pendapat ulama dan yang lain juga pendapat ulama … jika ijtihad salah maka dapat satu pahala, jika benar dua pahala … namun kaidah ini tidak berlaku bagi Abdurrahman bin sarijan, jika ijtihad salah harus dicela, bukan satu pahala …Allahul Musta’an!

Para ulama zaman terdahulu telah mensepakati bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, hal ini menjadi pendapat yang tercantum dalam karya-karya besar berikut:
a. Fikih Madzhab Hanafi: kitab Al Mabsuth karya As Sarkhasi (wafat 490 H), kitab Al Hidayah karya Al Marghinani (wafat 593 H), kitab Fathul Qadir karya Al Kamal bin Al Humam (wafat 681 H)
b. Fikih Madzhab Maliki: kitab Al Muwatha’ karya Imam Malik (wafat 179 H), kitab Al Mudawwanatul Kubra, kitab Al Muntaqa’ syarah Al Muwatha’ karya abul Walid Al Baji (wafat 179 H), kitab At Tamhid karya Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H), kitab Al Kafi karya Ibnu Abdil Barr.
c. Fikih Madzhab Syafi’i: kitab Al Umm karya Imam Syafi’i (wafat 240 H), kitab Al Muhadzdzab karya asy Syairazi (wafat 476 H), kitab Al Majmu’ karya Imam An Nawawi (wafat 676 H).
d. Fikih Madzhab Hanbali: kitab Al Mukhtashar karya Al Khiraqi (wafat 344 H), kitab al Hidayah karya Al Kaludzani (wafat 510 H), kitab Al Ifshah an Ma’anish Shihah karya Ibnu Hubairah (wafat 560 H), kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah (wafat 620 H), kitab Al Muharrar fil Fiqhi karya Majduddin Ibnu Taimiyah (wafat 652 H).
e. Fikih Madzhab Zhahiri: kitab Al Muhalla karya Ibnu Hazm (wafat 456 H).
Keseluruhan kitab-kitan fikih berbagai madzhab sebagaimana dicantumkan di atas, menyatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukanlah aurat. Hal ini dikuatkan lagi dalam kitab Al Fiqh ala Madzahib Al Arba’ah (Fikih Empat Madzhab) susunan Dewan Ulama Saudi yang menyimpulkan, “Adapun bila di hadapan laki-laki yang bukan mahramnya atau di hadapan wanita non muslim, maka aurat wanita adalah keseluruhan badannya, kecuali wajah dan kedua telapak tangannya. Keduanya bukan aurat sehingga boleh ditampakkan bila aman dari gangguan”.
Adapun para mufasir yang berpendapat bahwa wajah dan kedua telapak tangan wanita bukan aurat adalah:
a. Ath Thabari (wafat 310 H) dalam Jami’ul Bayan ‘an Takwil Ayatil Qur’an
b. Al Jashash (wafat 370 H), dalam Ahkamul Qur’an
c. Al Wahidi (wafat 468 H), dalam Al Wafiz Fi Tafsiril Qura’anil Aziz
d. Al Baghawi (wafat 516 H), dalam Ma’alimut Tanzil Fit Tafsir
e. Az Zamakhsyari (wafat 528), dalam Tafsir Al Kasysyaf
f. Al Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi (wafat 543 H), dalam Ahkamul Qur’an
g. Al Fakhur Razi (wafat 606 H), dalam At Tafsirul Kabir
h. Al Qurthubi (wafat 671 H), dalam Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an
i. Al Khazin (wafat 725 H), dalam Lubabut Ta’wil Fi Ma’anit Tanzil
j. An Naisaburi (wafat 728 H), dalam Ghara’ibul Qur’an wa Ragha’ibul Furqan
k. Abu Hayyan Al Andalusi (wafat 754 H), dalam Al Bahrul Muhith
l. Abu Su’ud (wafat 951 H) dalam Tafsir Abis Su’ud
m. Ibnu Badis (wafat 1359 H) dalam Min Atsari Ibni Badis.
Di dalam kitab Al Muwatha’ diriwayatkan dari Yahya bahwa Imam Malik pernah ditanya, “Apakah seorang wanita (boleh) makan bersama laki-laki yang bukan mahramnya atau makan bersama anak laki-lakinya (saja)?” Imam Malik menjawab, “Tidak mengapa (bersama laki-laki yang bukan mahramnya) asalkan laki-laki tersebut telah dikenali”. Beliau menambahkan, “Biasa wanita (menemani) makan suaminya dan bersama para tamunya”.
Al Baji di dalam kitab Al Muntaqa Syarh Al Muwatha’ mengomentari perkataan Imam Malik tersebur, “Dibolehkan laki-laki memandang wajah dan kedua tangan perempuan itu, karena kedua bagian tubuh tersebut tentu terlihat pada saat dia makan”.
Terhadap segolongan kaum muslimin yang secara ketat mewajibkan para wanita muslimah menutup wajah (dengan cadar) dan kedua telapak tangan mereka, Syaikh Nasiruddin Al Albani dalam Kitabnya Ar Radd Al Mufhim mengatakan, “Orang-orang yang mewajibkan para wanita menutup wajah dan kedua telapak tangannya tidak berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’ ulama”. Di bagian lain, Albani mengatakan mereka yang mewajibkan cadar bagi wanita muslimah sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif, atsar-atsar lemah, serta atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau mungkin tidak mereka ketahui”.
Sikap mewajibkan cadar bagi wanita muslimah karena menganggap ada nash-nash syariat yang menunjukkan kewajiban, dianggap Albani sebagai hal yang berlebih-lebihan di dalam agama. Perhatikan ungkapan Nashiruddin Al Albani, seorang ulama tokoh Salafi berikut, “Saya berkeyakinan bahwa sikap berlebih-lebihan terhadap urusan wajah wanita itu tidak mungkin bisa mencetak generasi wanita di tiap-tiap negerinya yang mampu mengemban tugas yang tergantung di leher mereka”.
“Wanita-wanita seperti itu juga tidak akan mampu bertindak secara luwes dan tangkas di saat keadaan membutuhkan. Dari hadits-hadits kita bisa mengetahui bahwa para wanita di zaman Rasulullah ikut menyuguhkan makan dan minum para tamu, ikut berperang dengan memberi minum mereka yang kehausan, memberi makan mereka yang kela
paran, mengevakuasi mereka yang terbunuh; terkadang wanita sendiri ikut berperang di saat kondisi mengharuskan”.
“Mungkinkah wanita-wanita yang memakai cadar dan kaus tangan mampu melakukan kegiatan dan tugas-tugas semacam itu?” Lanjut Albani, “Ya Allah, tidak mungkin. Kegiatan dan tugas-tugas semacam itu hanya akan bisa dilakukan tatkala para wanita membuka wajah dan kedua tangan mereka”. Selesai (Ini contoh saja, sebenarnya ingin sekali saya membahas seluruh muatan Fiqih yang ‘dipermasalahkan’ oleh Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah … agar umat tahu bahwa apa yang dirisaukannya adalah masalah klasik, yang seharusnya tidak sampai karena itu kita menodai kehormatan orang lain)

Kitab Al Halal Wal haram disusun atas permintaan Syaikhul Azhar saat itu di bawah pengawasan Dirjen Budaya Islam yang dipimpin oleh Dr. Muhammad al Bahi, dan buku itu dinilai oleh komite khusus (kumpulan para ulama) sebagai buku brilian. Kitab itu dibuat dalam rangka menjadi panduan buat Muslim di wilayah Eropa.

Syaikh Musthafa Az Zarqa, seorang Ahli Fiqih asal Syiria, berkata: “Sesungguhnya merupakan kewajiban bagi muslim dan muslimah untuk memiliki buku ini.”Syaikh Muhammad Al Mubarak (Dia pernah merekomendasikan kepada beberapa syaikh agar mau mendidik Syaikh Al Albany –saat masih muda- untuk diajarkan hadits) berkata: “Buku Al halal wal haram adalah buku terbaik dalam bidangnya.”
Syaikh Sayyid Ath Thanthawi –Syaikhul Azhar saat ini- dia menetapkan bahwa kitab tersebut adalah buku pegangan bagi para mahasiswa fakultas Syariah di Mekkah untuk mata kuliah Budaya Islam.

Syaikh Abul A’la Al Maududi –padahal dia tidak sependapat dengan Syaikh Al Qaradhawy dalam masalah cadar, beliau mewajibkannya- telah menulis surat pujian khusus kepada Syaikh Al Qaradhawy tentang kitab Al halal wal haram, walau dia berbeda pendapat dalam beberapa hal! Sekali lagi, … memang hanya orang besar yang bisa menghargai orang besar …

Bagi yang memiliki buku Syaikh Shalih Fauzan, coba lihat … beliau hanya mengkritik 11 masalah, padahal Kitab Al halal wal haram membahas puluhan bahkan seratus lebih masalah … apa artinya? Banyak hal yang didiamkan oleh Syaikh Shalih Fauzan yang bisa jadi beliau hafizhahullah tidak mempermasalahkannya …, atau bisa jadi beliau menganggap tak perlu ditanggapi karena masalah ringan .. atau bisa ada alasan lain.. tetapi Syaikh Shalih Fauzan pun mengkritik dengan bahasa yang baik, tidak celaan sebagaimana Abdurahman bin Sarijan.

Untuk Syaikh Muqbil, kita semua tahu bagaimana kebenciannya terhadap Syaikh Al Qaradhawy, jadi kita bisa memaklumi berbagai tulisannya terhadap Syaikh Al Qaradhawy, walau yang dipermasalahkan bukanlah apa-apa, tetap dianggapnya masalah besar dan penuh kekeliruan. Dia pun pernah berkata: “Wahai Al Qaradhawy, engkau telah kufur atau mendekati kekufuran!” (Membongkar Kedok Al Qaradhawy, Hal. 132)

Kutip dari dari Abdurrahman bin Sarijan:
Sebagaimana kami kemukakan di atas, maka pada kesempatan ini kami hanya akan membahas tentang penyelewengan-penyelewengan Yusuf Qordlowi dengan berbagai bukti yang kami miliki. Adapun kesesatan-kesesatan Yusuf
bin Abdillah Qordlowi Al-Mishriy diantaranya adalah sbb;
Sebagaimana saya sebutkan pada judul, bahwa saya akan membeberkan inhirafat dari Abu Muhammad Abdurrahman bin Sarijan, dengan bukti-bukti yang berdasarkan Al Quran, AsSunnah dan qaul para ulama. Adapun penyimpangan-penyimpangan rajul ini di antaranya adalah sbb;

Kata Abdurrahman bin Sarijan:
A.BERUSAHA MENYATUKAN ANTAR MADZHAB ISLAMIYYAH (SUNNIY DAN SYI’AH, PENT).

Pada acara “Hiwar Maftuh” yang diadakan pada tanggal 18/1/1425 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 9/3/200 Masehi Yusuf bin Abdillah Al-Qordlowi berkata:”Yakni, saya mengetahui hal ini (penyatuan antar madzhab islamiy) sejak berpuluh-puluh tahun lamanya.Saya mulai mengetahuinya semenjak di kota Kairo, diantara orang-orang yang menyerukan hal ini adalah Syaikh Abdul Majid Saliim, Mahmud Saltut, Abdul ‘Aziz ‘Isa, Syaikh Muhammad Al-Madaniy serta Hasan Al-Banna bersama mereka. Dan Syaikh Taqiyuddin Al-Qummiy3) pergi ke markaz Ikhwanul Muslimin dan Syaikh Hasan Al-Banna menerima beliau. Beliau (baca:Syaikh Hasan Al-Banna) adalah mursyid pertama (Ikhwanul Muslimin, pent)…”.

Benarkah Syaikh Al Qaradhawy hendak menyatukan antara Sunni dan Syiah? Persatuan yang bagaimanakah yang dimaksud?

Pendekatan bukan Peleburan
Pendekatan yang diupayakan Syaikh Yusuf al Qaradhawy—seandainya para pencela mau tenang, sabar, dan ikhlas memahaminya—niscaya akan menemukan titik temu dengan garis perjuangan Rasulullah Saw. Tauhidush shufuf yang dilakukan al Banna seyogianya dipahami sebagai strategi perjuangan dalam rangka kerjasama memerangi orang-orang yang memerangi Islam secara umum. Bahkan, memerangi manusia dan seluruh peradabannya, yaitu kolonialisme, imperialisme, atheisme, kapitalisme, sosialisme dan hedonisme yang pada masa itu dan sekarang sangat merajalela. Penyatuan itu amatlah beda dengan peleburan pemahaman doktrin akidah. Al Banna telah menggariskan bahwa dakwah yang beliau bangun berada dalam barisan Ahlus Sunnah wal Jama ‘ah.
Rasulullah Saw pernah berkoalisi dengan musyrikin Bani Khuza’ah dengan harapan ada kekuatan tambahan untuk melawan kaum musyrikin yang lebih besar dan berbahaya. Setiap penyimpangan yang dimiliki sekte dalam Islam tentu memiliki kadar yang berbeda, bahkan satu sekte memiliki kelompok yang bermacam-macam. Tentunya sikap kita pun tidak dapat menyamaratakan semuanya walau sama-sama menyimpang. Itulah yang kita pelajari dari perjalanan dakwah Rasulullah Saw dan para sahabai-nya yang mulia.
Ketika Persia dan Romawi berperang dan dimenangkan Persia, Rasulullah Saw dan sahabatnya merasa sedih mendengar berita itu. Sebaliknya ketika Romawi mengalami kemenangan, kaum muslimin pun ikut bergembira, Kisah itu dapat kita baca pada awal surat ar Rum. Mengapa kau
m muslimin berpihak pada Romawi? Alasannya, Romawi beragama Nasrani sedangkan Persia beragama Majusi (penyembah api). Di antara keduanya Nasranilah yang memiliki logika keberagamaan yang lebih dekat dengan Islam.

Fa ‘tabir ya ulul abshar ! Itulah strategi Rasulullah Saw dengan memanfaatkan potensi kebaikan yang ada pada musuh untuk menghadapi musuh yang lebih besar dan berbahaya.
Berkata al Hazimy, “Boleh meminta pertolongan kepada orang-orang musyrik untuk memerangi orang musyrik lainnya selagi mereka bergabung dengan patuh dan tidak memberi andil bagi mereka.” Ibnul Qayyim berkata, “Meminta bantuan kepada orang musyrik yang dapat dipercaya untuk keperluan jihad boleh dilakukan selagi dibutuhkan. Nabi Saw sendiri meminta bantuan kepada Dayyil dan penunjuk jalan dari Bani al Khuza’iy yang kafir. Di situ ada maslahat karena orang yang dimintai bantuan dapat bergaul dengan musuh dan dapat mengetahui kabar tentang mereka.”
Itu pula yang dilakukan al Banna. Namun, amat disayangkan hal itu tidak mampu ditangkap para pencelanya (atau memang mereka tidak mengerti sama sekali?). Memang tidak sama antara orang yang mengetahui dan tidak, serta amat berbeda antara orang yang ber-jihad dan yang selalu mencari-cari kekurangan para mujahid!

STANDAR GANDA

Standar ganda adalah kenyataan aneh yang harus diterima. Di satu sisi, para penuduh menganggap Hasan al Banna dan tokoh-tokoh jamaah-nya dekat dengan syi’ah, tetapi mereka sendiri bungkam dengan kekuatan kafir yang mencengkeram kuat dan lama di negeri Teluk tempat mereka tinggal. Barangkali ada yang berkata, ‘Itu adalah keinginan penguasa, bukan mereka.’ Kami harus menegaskan, itulah letak keanehannya. Mengapa mereka berteriak ketika seharusnya diam dan terdiam ketika seharusnya berteriak? Kekeliruan yang besar di depan mata dan aktual tidak tampak, sementara kekeliruan yang debatable pada masa lalu dan terkubur dalam buku sejarah amat tampak.
Lebih aneh lagi, sebagian mereka memuji matia-matian negara yang di dalamnya bercokol pangkalan militer musuh besar Islam yang tentara-tentaranya bebas berkeliaran beserta ke-jahiliyah-an yang mereka bawa. Mereka menginjak-injak tanah haram ketika Perang Teluk berkecamuk. Apakah ada negeri tauhid memberikan wala’ (loyalitas) kepada musuh Islam, AS, bahkan membolehkan meminta pertolongan kepada mereka untuk melawan si Sosialis Saddam Husein? Sungguh AS lebih kafir dibandingkan Saddam! Apakah ada negeri muslim sejati seperti ini dalam kegemilangan sejarah Islam dan kaum muslimin masa lalu? Apakah dibenarkan negeri yang menghormati sistem pemerintahan Islami justru menerapkan sistem kekuasaan warisan (dinasti kerajaan) sebagaimana Kisra yang dibid’ahkan kalangan shigharus shahabah karena pergantian kepemimpinan bukan karena musyawarah Ahlus Syura ‘atau dipilih menurut kehendak dan ridha’ rakyat, melainkan sistem dinasti. Yazid bin Mu’awiyah adalah orang pertama yang memperkenalkan mekanisme pergantian khalifah dengan sistem keturunan (dinasti) dan bukan musyawarah.
Nah, lalu apa yang membuat mereka sibuk mencela Al Qaradhawy dan Al Banna, padahal upaya tauhidush shufuf-nya belum terjadi, sementara di depan mata mereka telah berkali-kali orang-orang kafir bermesraan dengan para pemimpin negeri tempat mereka tinggal dalam waktu yang lama sampai saat ini. Padahal, kita sama-sama mencintai dan memimpikan kebebasan negeri Islam dan tangan-tangan kotor AS dan bonekanya. Mudah-mudahan Allah SWT membukakan pintu hati kita semua.
(bersambung …InsyaAllah)

Tinggalkan komentar